Jakarta - Setiap guru profesional harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang berbeasiswa dan berasrama. Model ini mulai dirintis tahun 2014, dilakukan tahun 2015 dan dilaksanakan secara massal tahun 2016. Model PPG ini segera dibaaaakukansebagai pengejawantahan tuntutan guru sebagai profesi.
“Guru yang profesional adalah lulusan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang telah mengikuti proses seleksi untuk mengikuti pengembangan personal dan social dengan mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) setahun,” kata Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. selaku Ketua Asosiasi Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) dalam focused group discussion (FGD) di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (12/12/2013).2
FGD yang dibuka Direktur Pendidik dan Kependidikan (Diktendik) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Supriyadi Rustat dihadiri para rektor LPTK seluruh Indonesia; pakar pendidikan; anggota DPR RI Komisi X Ny. Popong Otje Djundjunan; dan Ketua PB PGRI Sulistyo. Seminar dan FGD yang dipandu Rektor UPI Prof. Sunaryo dan Prof. Dr. Bedjo Sujanto bertema, “Penyelenggaraan Pendidikan Guru — Dari Rintisan Menuju Pembakuan.”
Dalam kesempatan itu diungkapkan testimoni sejumlah mahasiswa lulusan LPTK yang pernah mengikuti SM3T dan sekaligus mengikuti PPG. Seperti digambarkan Direktur Diktendik Supriyadi Rustat, mereka terampil mengungkapkan konsep dan gagasan secara terstruktur. Sebab, setelah mereka melakukan proses pengembangan personal dan sosial melalui keikutsertaan mereka dalam SM3T, mereka kemudian diajak untuk belajar berpikir secara terstruktur dalam PPG.3
“Padahal, selama mengikuti SM3T, para sarjana ini ‘segalanya’. Artinya, pendidikan adalah apa yang ada di kepala para sarjana ini. Mereka menjadi guru Matematika, tapi tiba-tiba juga bisa menjadi guru Agama. Kurikulum juga tergantung apa yang ada di kepalanya. Persona dan social mereka dikembangkan secara maksimal di lapangan,” kata Supriyadi.
Dengan penyelenggaraan PPG, kata Supriyadi, tidak ada lagi Akta 4(A-4) sebagai lisensi seorang guru berkewenangan mengajar. Apalagi selama ini, Akta 4 tidak ada dasar hukumnya. Meski demikian, banyak LPTK swasta yang masih mengembangkan Akta 4 ini.
Guru profesional
Menurut Prof. Sunaryo, siklus mencetak guru profesional harus diciptakan, sebab tugas mereka berat yaitu menciptakan iklim yang dapat mengantarkan kehidupan bangsa Indonesia yang berkualitas. Siklus ini harus menjadi aturan baku bagi guru yang professional.
“Pertama, guru yang profesional adalah lulusan LPTK. Tidak semua perguruan boleh mendidik guru. LPTK pun harus yang memiliki standar mutu dan standar kewarasan sebagai lembaga yang mendidik pendidik dan tenaga kependidikan,” ujar Prof. Sunaryo.4
Setelah lulus, guru profesional harus mengikuti program SM3T. Dengan menyelenggarakan SM3T, persoalan pemerataan guru secara nasional dapat diatasi. Sebab, daerah 3T mendapatkan pasokan guru. Para peserta SM3T dapat menjadi penggerak pembangunan, tidak hanya di bidang pendidikan, namun juga berbagai bidang yang lain.
“Setelah mengalami pengembangan personal dan sosial, peserta baru mengikuti PPG yang berbeasiswa dan berasrama. Soal asrama ini sangat penting untuk mendidik perilaku dan kebiasaan serta kepribadian mereja sebagai guru yang akan menjadi teladan bagi siswanya,” ujar Prof. Sunaryo.
“Siapa yang harus menjadi guru? Apakah boleh sembarang orang menjadi guru?” menjawab persoalan ini, Rektor UPI menyatakan, sejauh ini belum ada sistem rekrutmen nasional calon guru yang lebih spesifik, yang berbeda dari seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Rekrutmen calon guru sangat penting yang berbeda dari SNMPTN, kata Prof. Sunaryo. Paling tidak, guru harus berasal dari LPTK S1 baik dan prodi kependidikan atau nonkependidikan yang bisa disepekati. Rekrutmen calon mahasiswa LPTK menggunakan uploading keterampilan mereka di internet sejauh ini menghasilkan calon mahasiswa LPTK yang berkualitas rendah. Rekrutmen yang bermuatan LPTK perlu dirumuskan tersendiri.
LPTK yang berhak mendidik para guru, kata Prof. Sunaryo, harus didefiniskan ulang. “Dalam hal ini, kita harus merujuk kepada workshop Juli 2013, yakni perguruan tinggi yang punya kapasitas standar. Perguruan tinggi ini harus tegas memiliki filosofi dan keilmuan LPTK yang unik, yaitu bidang pendidikan dan kependidikan guru. LPTK ini harus punya kewarasan organisasi dan good governance.
“Kekhasan kuriklulul pada program pendidikan guru adalah, guru harus masuk pendidikan profesi. Mereka harus masuk dua tahap, pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Mereka harus masuk dua kelaziman profesi itu,” ujar Prof. Sunaryo. (
Sumber: UPI)