Pada
kesempatan kali ini ijinkan saya menyampaikan kesimpulan dan refleksi mengenai
peran kita dalam menciptakan budaya positif di lingkungan sekolah. Begitu cepat
waktu berlalu, kita telah mendampingi murid kita untuk tumbuh dan berkembang,
dan kita sadari bahwa sekolah seyogyanya mengembangkan budaya positif untuk
membangun karakter anak yang sesuai dengan profil pelajar pancasila.
Kita
telah belajar bersama tentang filosofi ki hajar dewantara, Ki Hajar Berkata "Pendidikan
adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam
masyarakat berkebangsaan". Sekolah yang kita diami saat ini di anggap oleh
masyarakat (dalam hal ini orang tua siswa) sebagai tempat PERSEMAIAN untuk
menumbuhkan benih (siswa) untuk tumbuh, hidup dan berkembang menjadi benih yang
baik. Tempat persemaian benih ini diharapkan mengantarkan cita-cita setiap
benih untuk membentuk sebuah kebudayaan sebagai peradaban bangsa yang kita
harapkan melalui pendidikan.
Filsafat kedua Ki Hajar Dewantara yaitu Perubahan Bagi
KHD kebudayaan itu selalu berubah, dinamis tidak boleh statis. Dalam
pemeliharaan kebudayaan harus sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman.
Pendidikanpun sama harus bergerak sesuai zaman. Apabila kita maknai terkait
pemikiran ki hajar dewantara kita sebagai pembelajar berkewajiban memberikan
pengajaran kepada siswa kita untuk memberikan ilmu yang berpaedah untuk
kecakapan hidup secara lahir dan batin, juga menuntun segala kodrat yang ada
pada anak. agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Peran
kita sebagai guru pengerak yaitu mampu menumbuhkan sekolah yang berpihak kepada
murid. Seperti yang kita ketahui pendidikan itu selalu berubah dan akan terus
berubah. Dengan pesatnya kemajuan teknologi akan mempersempit pertukaran, ilmu
,informasi, bahkan pertukaran budaya akan terjadi. Baik budaya positif atau
budaya negatif. Hal ini akan menjadi tantangan untuk kita agar mampu menyaring
nilai budaya yang masuk supaya budaya yang sudah ada tidak tergerus oleh zaman.
Disinilah
kita di tuntut untuk memaknai tujuan pendidikan kita sehingga kita bisa
menempatkan Profil Pelajar Pancasila sebagai acuan pendidikan kita. Kita
sebagai pendidik hanyalah manusia biasa, dan kita sadari bahwa sebagai pendidik
di pengaruhi oleh interaksi dan cara kerja pikiran kita serta emosi sebagai
aspek intrinsik dengan aspek ekstrinsik dalam suatu lingkungan pembelajar. Di
masa mendatang, Guru Penggerak diharapkan dapat memainkan peran-peran memimpin
perubahan dalam ekosistem pendidikannya masing-masing. Dengan harapan mampu mengembangkan
diri sendiri dan orang lain, memimpin pembelajaran, memimpin manajemen sekolah,
serta memimpin pengembangan sekolah.
Kita
juga berfokus sebagai pemimpin yang menggerakkan diri, sesama, serta
lingkungan-masyarakat untuk mewujudkan sekolah yang berpihak pada murid.
Sebagai Guru Penggerak kita memiliki peran di lingkup kelas-sekolah dan
lingkungan-masyarakat. Peran yang pertama yaitu “Pemimpin Pembelajaran” kita
diharapkan mampu mendorong terwujudnya wellbeing dalam ekosistem pendidikan di
sekolah. Selanjutnya menjadi “coach” bagi guru lain, terutama yang terkait
dengan peningkatan kualitas pembelajaran bagi murid di sekolah. Secara
sederhana “berkolaborasi”, Guru Penggerak harus punya pandangan apresiatif yang
memungkinkan pengungkapan potensi positif rekan yang lain. Mereka membuka lebih
banyak ruang dialog positif antar guru, antara guru dan pemangku kepentingan
baik di dalam maupun di luar sekolah demi meningkatkan kualitas pembelajaran
bagi murid. Guru Penggerak diharapkan mengambil peran untuk “mewujudkan
kepemimpinan murid”. Terakhir Guru
Penggerak diharapkan dapat mengambil peran untuk menggerakkan komunitas
praktisi di sekolah dan di wilayahnya. Agar komunitas praktisi dapat berjalan
secara berkesinambungan.
Dalam
menghadapi perubahan zaman guru perlu terus berlatih meningkatkan kapasitas
dirinya dalam memvisualisasikan harapan, menggandeng sesama dan
mentransformasikannya menjadi harapan bersama. Guru dapat mendesain lingkungan
belajar yang memungkinkan tumbuhnya murid yang memiliki kemandirian dan
motivasi intrinsik yang tinggi. Segala upaya gotong-royong yang diperlukan demi
pencapaian harapan bersama tersebut merupakan visi kita. Visi kita sekarang
adalah masa depan murid kita. Masa depan murid kita adalah masa depan bangsa
kita, Indonesia. Secara tidak langsung juga membantu sekolah untuk memenuhi
Standar Nasional Pendidikan, misalnya saja profil murid dan lulusan dalam visi
mampu memberikan gambaran mengenai Standar Kompetensi Lulusan sekolah mereka. Dari
sini kita tahu betapa pentingnya pendidik memiliki visi, dan mengembangkan visi
untuk mewujudkan keberpihakan pada murid-murid, sehingga murid kita bertumbuh
dengan maksimal mencapai keselamatan dan kebahagiaan sesuai dengan kodratnya.
Kita
telah belajar bersama tentang filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara,
nilai-nilai peran guru penggerak dan visi guru penggerak. Untuk mendukung semua
itu kita perlu memahami pentingnya membangun budaya positif di sekolah sesuai
dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak
pada murid untuk membantu kita mencapai visi guru penggerak. sebagai pemimpin
pembelajar kita diharapkan mampu menggerakkan dan memotivasi warga sekolah agar
memiliki, meyakini, dan menerapkan visi atau nilai-nilai kebajikan yang
disepakati, sehingga tercipta budaya positif yang berpihak pada murid.
Peran
kita dalam menciptakan budaya positif di sekolah dengan menerapkan
konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman
dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas, segitiga
restitusi.
Modul
ini saya mempelajari strategi menumbuhkan lingkungan yang positif saya
memikirkan kembali kebutuhan-kebutuhan dasar yang sedang dibutuhkan seorang
murid pada saat mereka berperilaku tidak pantas, serta strategi apa yang perlu
diterapkan yang berpihak pada murid. Selanjutnya saya akan mengeksplorasi suatu
posisi dalam penerapan disiplin, salah satu posisi kontrol yang di terapkan
yaitu dinamakan ‘Manajer’ serta bagaimana seorang ‘Manajer’ menjalankan
pendekatan disiplin yang dinamakan Restitusi. Di sini Anda akan mendalami
bagaimana pendekatan Restitusi fokus untuk mengembangkan motivasi intrinsik
pada murid yang selanjutnya dapat menumbuhkan murid-murid yang bertanggung
jawab, mandiri, dan merdeka. Hal yang paling menarik yaitu kita bisa membuat
murid memperbaiki kesalahan tanpa membuat mereka sakit hati.
Cara
pandang saya berubah drastis tentang budaya di sekolah. Dalam menjalankan
tugasnya, seorang pemimpin sekolah hendaknya berjiwa kepemimpinan serta dapat
mengembangkan sekolah dengan baik yaitu dengan menciptakan lingkungan yang
positif sehingga terwujud suatu budaya positif. Demikian juga dengan warga
sekolahnya. Setiap guru dan tenaga kependidikan memiliki kompetensi standar
minimal di mana mereka memiliki kesamaan visi serta nilai-nilai kebajikan yang
dituju, serta berupaya mewujudkannya dalam pembelajaran yang aplikatif yang
mengupayakan pemberdayaan murid agar dapat menjadi pemelajar sepanjang hayat.
Ketika
saya mencoba menerapkan di kelas, penerapan dispilin yang dilakukan dalam
situasi merdeka bukan keterpaksaan. Artinya, siswa sendirilah yang menginginkan
dirinya menaati peraturan sesuai dengan keyakinan universal atau keyakinan
sekolah dan kelas.
Pada
akhirnya yang saya rasakan keinginan untuk melaksanakan keyakinan universal
yang datang dari siswa atau kita sebut motivasi internal tersebut dapat
diwujudkan dengan Restitusi. Restistusi adalah upaya mendisiplinkan siswa tapi
dengan cara siswa sendiri yang menyelesaikan masalahnya dan membuat mereka
bertindak sesuai dengan keinginan ideal yang didasarkan pada keyakinan kelas.
Namun
memang semua itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Hal tersebut tentu
akan berjalan dengan semestinya ketika guru menempatkan diri sesuai dengan
posisi kontrol yang tepat. Posisi kontrol guru yang terbaik adalah posisi
seorang manajer, yang perlu di perbaiki adalah kapan kita meletakan posisi
kontrol yang tepat dalam menghadapi siswa kita
Sebelum
mempelajari modul budaya positif ini, secara tidak sadar menerapkannya, seperti
memvalidasi tindakan, berusaha menstabilkan identitas, bahkan dengan menanyakan
keyakinan. Tekadang dengan nada tinggi tapi menyampaikannya seperti “Kamu mau
jadi orang seperti apa?”. Bahkan di tambah embel embel ko kamu nakal sekali.
Tapi setelah mempelajari modul ini kita tahu proses restitusi yang sebenarnya.
Selain
konsep yang sudah tertuang dalam modul ini kita juga, harus bisa menyesuaikan
posisi kontrol dan penerapannya sesuai dengan budaya yang ada di kita. Kita
tidak bisa menyamakan penerapan metode ini dengan daerah lain. Maka dari itu kita
tidak boleh lupa akan akar nilai budaya yang hakiki dari masyarakat, kemajuan
dari perubahan itu sendiri harus berakar dari nilai budaya pada masyarakat
tersebut.
Demikian
refleksi yang bisa saya sampaikan, dan sebagai seorang pengerak hendaklah memahami
pemikiran KI Hadjar Dewantara mengenai tujuan dan asas pendidikan, bertransformasi
dalam dunia pendidikan, dengan menerapkan nilai nilai profil pancasila, juga mempunyai
rencana dan visi untuk perubahan dalam pendidikan, dengan mengimplementasikan
prilaku positif.
SALAM
GURU PENGGERAK, TERGERAK, BERGERAK, MENGGERAKAN
Kaddy Miharjaya PGP angkatan 5
Kab. Situbondo